Padahal hingga 2018, beberapa nama vendor lokal seperti Advan dan Evercoss masih masuk daftar lima besar ponsel Indonesia.
Melihat gencarnya produsen ponsel China merayu pengguna ponsel tanah air, analis pasar IDC Indonesia Risky Febrian menilai sangat sulit bagi vendor lokal untuk berkompetisi.
Berikut empat alasan mengapa hal itu bisa terjadi.
1. Produsen China ambil pasar
Pasalnya vendor-vendor yang saat ini ada di posisi lima besar dari luar negeri sudah mulai bermain di segmen ultra low end dan low end. Padahal kedua segmen itu adalah sumber pendapatan vendor lokal untuk bisa terus menjalankan bisnis.
Awalnya menurut Rizky vendor lokal bisa bertahan hidup dari pasar low end dan ultra low end. Ini adalah pasar ponsel murah dengan rentang harga di bawah Rp1,4 juta (ultra low end) dan ultra low end (Rp1,41-2,9 juta).
"Mereka masih bisa suvive (bertahan) di pasar Rp1-2 juta. Tapi makin ke sini makin banyak vendor global yang agresif di rentang harga ponsel Rp1 juta sampai Rp2 juta," kata Risky di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (29/11).
2. Spesifikasi kalah
Advan jadi salah satu vendor lokal yang sempat duduk di posisi lima besar di Indonesia (Eric Ireng)
|
Hal lain yang membuat vendor lokal keok dari segi spesifikasi yang ditawarkan. Vendor-vendor papan atas, menurut Rizky punya tawaran lini produk yang lebih beragam dengan tawaran spesifikasi yang lebih menarik.
"Ini membuat lokal vendor sangat sulit berkompetisi. Karena dari segi spesifikasi pun kalah jauh dibandingkan dengan penawaran yang ditawarkan top vendor ini," tuturnya.
3. Pergeseran pasar
Lebih lanjut menurut Rizky, penyebab lain akibat pergeseran pasar. Dua hingga tiga tahun ke belakang, menurut Rizky pasar ultra low end dengan harga di bawah Rp1 juta masih ada.
Tapi sekarang pada kuartal tiga 2019, pangsa pasar ponsel ultra low end menyusut jadi 19 persen. Padahal pada 2-3 tahun ke belakang, pangsa pasar ponsel kategori ini menguasai 30-40 persen pasar.
Saat ini pasar ponsel low end dan menengah lah yang menguasai pasar. Gabungan kedua ponsel yang dipasarkan di kedua kategori ini menurut Rizky mencapai 70 persen.
"Shifting (pergeseran) dari ultra low end ke midrange makin kencang di tahun ini 2019."
Di sisi lain, segmen high end (di atas US$400) di Indonesia hanya lima persen. Tingkat pertumbuhannya pun stagnan dan tidak terlalu besar.
Larisnya ponsel di kedua segmen ini menurut Rizky sesuai dengan karakter pasar negara berkembang. Sehingga, daya beli masyarakat memang ada di segmen menengah.
4. Selera konsumen berubah
Hal lain yang membuat pasar ponsel lokal makin ciut adalah pergeseran selera pasar.
"Balik ke tren konsumen, kebutuhan spesifikasi lebih tinggi karena konsumsi media dan mobile gaming makin tinggi," tuturnya.
Selain itu, para vendor juga menawarkan tawaran ponsel dengan nilai tambah yang lebih menarik pada ponsel menengah. Sehingga membuat pasar ini makin moncer di pasaran.
[Gambas:Video CNN]
Strategi bertahan
Oleh karena itu, demi bertahan dari gempuran ponsel China ini, menurut Rizky para vendor lokal lantas mencoba mengalihkan bisnis mereka.
"Bukan hanya fokus ke ponsel pintar tapi banyak vendor lokal menawarkan smart home, atau smart tv, wearable devices, smart watch. "Nah ini strategi mereka juga. untuk survive (bertahan). Mereka tak hanya lagu bergantung pada produk smartphone," ujarnya.
Produsen ponsel asal China mendominasi lima besar vendor dengan angka pengapalan terbesar di Indonesia berdasarkan laporan International Data Corporation (IDC) pada kuartal ketiga 2019 (Q3).
Pada kuartal ketiga ini, produsen ponsel asal China seperti Oppo (26,2 persen), Vivo (22,8 persen), Realme (12,6 persen), dan Xiaomi (12,5 persen) mencatat angka pengiriman ponsel yang fantastis. Vendor asal Korea Selatan, Samsung bertengger di peringkat ketiga dengan angka 19,4 persen. (eks)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2Y36ilW
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Penyebab Ponsel Lokal Kalah Dihantam Produsen China"
Post a Comment