Gaharu menurut Sonny ialah kayu berwarna kehitaman dan mengandung resin khas yang dihasilkan oleh sejumlah spesies pohon dari marga Aquilaria.
"Gaharu sejak awal masehi telah menjadi komoditi perdagangan dari Kepulauan Nusantara ke India, Persia, Jazirah Arab serta Afrika Utara," kata dia saat acara Ada Apa Dengan Natuna di Pusat Arkeologi Nasional, Jakarta, Kamis (30/1).
"Gaharu banyak diperdagangkan dengan harga jual yang sangat tinggi. Secara umum perdagangan Gaharu digolongkan menjadi tiga kelas besar yaitu Gubal, Kemedangan, dan Abu," sambung Sonny.
Gubal sendiri merupakan kayu berwarna hitam kecoklatan dan diperoleh dari bagian pohon penghasil Gaharu yang memiliki kandungan damar wangi beraroma kuat.
Sedangkan Kemedangan adalah kayu Gaharu dengan kandungan damar wangi dan beraroma lemah serta memiliki penampakan fisik berwarna kecoklatan sampai abu-abu dan memiliki serta kasar dan struktur kayu yang lunak.
Sementara Abu Gaharu merupakan serbuk kayu hasil pengerokan atau sisa penghancuran kayu Gaharu.
Saat tim peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melakukan ekspedisi di Pulau Natuna tepatnya di Sungai Sekalong tahun 2010, mereka juga menemukan vegetasi tanaman seperti cengkeh dan karet.
"Cengkeh merupakan tanaman budidaya yang sudah lama ditanam penduduk Natuna. Dalam penelitian di Segeran dan Klarik, kebun-kebun cengkeh banyak ditemui," kata Sonny.
"Penanaman cengkeh di wilayah barat daya Natuna terutama Segeram dan Sedanau diduga ada kaitannya dengan peran wilayah ini sebagai sentra pemerintahan Pulau Bunguran yang diperkirakan pada abad ke-17," tambahnya.
Sonny pun sempat menyinggung bahwa salah satu produk khas penduduk Natuna ialah Kopra, Pohon Kelapa atau Nyok menjadi bahan bakunya.
"Proses pembuatan Kopra cukup sederhana, daging kelapa yang sudah dicungkil lalu dimasukkan ke dalam tungku pengasapan. Bahan bakar tungkunya berupa serabut kelapa," pungkasnya.
Pernah Dikuasai Kerajaan Sriwijaya Hingga Majapahit
Dalam sejarah singkat, Pulau Natuna yang saat ini tengah memanas karena kehadiran kapal nelayan China itu pernah di kuasai Kerajaan Sriwijaya.
Menurut Ahli Antropologi dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Djoko Marihandono, sekitar abad ke-7 di belahan barat Nusantara berdiri Kerajaan Sriwijaya.
Kerajaan ini diketahui memiliki armada dagang yang menguasai jalur pelayaran yaitu sebelah utara melalui Laut Cina Selatan, sebelah barat melalui Selat Malaka, dan sebelah timur Laut Jawa.
Pada 671 M, seorang pendeta China bernama I Tsing singgah di Kerajaan Sriwijaya. Pulau Natuna dulunya disebut Nan Tao oleh Tsing sekitar abad ke-7. Setelah mengalami pasang surut, Kerajaan Sriwijaya mundur dan diganti oleh Kerajaan Majapahit.
Seluruh kepulauan Nusantara saat itu takluk kepada Kerajaan Majapahit termasuk Pulau Besar (sekarang Natuna). Pelaut-pelaut Majapahit dalam perjalanannya ke China, Siam, Campa, Kamboja, dan Vietnam diketahui selalu menyinggahi Pulau Besar (Natuna).
"Pada waktu itu, gugusan Pulau Besar merupakan pulau yang berhutan lebat, banyak terdapat burung-burung serindit, sejenis burung bayan atau kakaktua kecial," kata Djoko saat acara Ada Apa Dengan Natuna di Pusat Arkeologi Nasional, Jakarta, Kamis (30/1).
Kepulauan Natuna kata Djoko hanya 2,4 persen yang berupa daratan. Dari 271 pulau besar dan kecil di kawasan itu, pulau yang terbesar adalah Pulau Bunguran.
Pulau-pulau yang lebih kecil di antaranya Pulau Jemaja, Serasan, Midai, Bintang, dan Sedanau di bagian selatan serta Pulau Laut.
Terbentuknya Kabupaten Natuna seperti yang diceritakan Djoko sekitar abad ke-16 berdasarkan perintah Datuk Kaya. Datuk Kaya diketahui merupakan cerita rakyat masyarakat Natuna sekitar tahun 1200 atau abad ke-13.
"Datuk Kaya itulah yang pada awal abad ke-19 memerintah di wilayah Pulau Tujuh [Natuna] dengan wilayah masing-masing secara turun-menurun dan sampai pada akhir kekuasaannya," tuturnya.
Kabupaten Natuna terbentuk berdasarkan Undang-undang No. 53 Tahun 1999 tepatnya tanggal 12 Oktober 1999 dari hasil pemekaran Kabupaten Kepulauan Riau terdiri dari 6 kecamatan yaitu Bunguran Timur, Bunguran Barat, Midai, Jemaja, Siantan, dan Serasan.
"Dalam perkembangannya, Kabupaten Natuna dimekarkan menjadi satu kabupaten lagi, yaitu Kabupaten Anambas di bawah Provinsi Kepri tahun 2008," terang Djoko.
Djoko merujuk pada data publikasi Natuna tahun 2018, Kabupaten Natuna memiliki luas wilayah 224.684,59 kilometer persegi. Terdapat 7 pulau terluar di Kabupaten Natuna yaitu Pulau Kepala, Subi Kecil, Senoa, Sekatung, Sebetul, Semiun, dan Tokong Boro.
Djoko menyebut cadangan gas alam di Kepulauan Natuna diklaim terbesar di Asia Pasifik bahkan dunia. Di bidang perikanan, Kepulauan Natuna yang terletak dalam perairan Laut China Selatan merupakan salah satu jenis ikan serta sumber kekayaan mineral yang potensial.
"Natuna juga memiliki potensi geopark, antara lain memiliki potensi geologi dan hayati. Berdasarkan hasil kegiatan inventarisasi keragaman geologi, Kepulauan Natuna terdiri atas 17 lokasi geodiversity," ucapnya.
"Telah teridentifikasi sejumlah 8 lokasi yang memiliki potensi warisan geologi meliputi Tanjung Senubing, Batu Kasah, Gunung Ranai, Tanjung Datuk, Goa, dan Pantai Kamak," pungkas Djoko.
Natuna masih menjadi sorotan terutama setelah puluhan kapal China yang dikawal coast guard Negeri Tirai bambu menerobos masuk dan mengambil ikan di wilayah ZEE Indonesia di sekitar Natuna sejak Desember lalu.
Meski TNI dan Bakamla RI telah melakukan pengusiran, kapal-kapal ikan China itu dikabarkan sempat kembali memasuki wilayah ZEE Indonesia di Natuna. Meski Indonesia telah melayangkan nota protes, China menegaskan memiliki hak historis di perairan yang dianggap mereka masuk wilayah Laut China Selatan.
(din/DAL)from CNN Indonesia https://ift.tt/2RFccbB
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Sejarah Warga Natuna, Dagang Kayu Gaharu Hingga Jazirah Arab"
Post a Comment