ANALISIS
CNN Indonesia | Kamis, 09/01/2020 14:13 WIB
Jakarta, CNN Indonesia -- Letak geografis dan topografi, diperparah dengan pembangunan kota yang mengesampingkan pendekatan lingkungan membuat daerah Ibu Kota Jakarta rentan terhadap banjir.Perubahan iklim, frekuensi hujan yang bertambah, dan cuaca ekstrem juga dinilai menambah risiko bencana banjir di Ibu Kota. Atas dasar itu, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sepakat mengatakan penanganan banjir di Jakarta memerlukan pendekatan aspek hidrologi dan ekologi.
Menyoal sisi ekologi, Presiden Joko Widodo sempat menyebut salah satu penyebab banjir di awal tahun baru 2020 ini di Jakarta dan sekitarnya karena kerusakan ekosistem dan ekologi.
"Karena ada yang disebabkan kerusakan ekosistem, kerusakan ekologi yang ada. Tapi juga ada yang memang karena kesalahan kita yang membuang sampah di mana-mana. Banyak hal," kata Jokowi di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (2/1).
Dari sisi kualitas ekologi, LIPI mengakui bahwa kualitas ekologi di Jakarta dan sekitarnya menurun. Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan dan Manajemen Iptek dan Inovasi LIPI, Galuh Syahbana penurunan kualitas ekologi ini dapat dilihat dari konversi lahan-lahan hijau menjadi ruang terbangun.
Dari sisi Ekologi, urbanisasi yang cepat dan tidak terkendali tanpa memerhatikan aspek lingkungan membuat daerah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) semakin rawan banjir.Galuh mengatakan investor sering kali melakukan negosiasi dengan pemerintah terkait untuk menggarap sebuah daerah dengan memerhatikan aspek ekonomi tanpa memerhatikan aspek lingkungan.
Seharusnya pembangunan tersebut mengikuti kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
"Misalnya harus ada Amdal, saya bilang di sini ada negosiasi. Artinya akan membangun kompleks pemukiman baru itu mau kecil, sedang, besar, itu harus dilihat dari kacamata pembangunan kota secara umum," kata Galuh di Gedung LIPI, Jakarta, Selasa (7/1).
Ahli Geografi Perkotaan ini juga mengatakan Indonesia baru serius menyadari aspek rawan bencana dan lingkungan pada 2007. Saat itu pemerintah menelurkan Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
Galuh mengatakan aturan tersebut memberikan wewenang bagi Pemerintah Daerah untuk melarang pembangunan yang tidak memerhatikan aspek lingkungan.
Kendati demikian dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), seringkali banyak pemangku kebijakan yang tidak mengikuti aturan RTRW tersebut. Galuh lebih lanjut menyarankan agar setiap pemangku kebijakan memiliki peta RTRW yang sama untuk mematuhi kajian-kajian lingkungan.
"Tata ruang itu sudah jelas fungsi lindung, fungsi ini budidaya. Tapi apakah itu dirujuk misalnya oleh KLHK yang memiliki hutan, memiliki lahan begitu banyak," kata Galuh.
Kejar Aspek Ekonomi, Tutup Mata Aspek Lingkungan
Seringkali pembangunan yang beralasan untuk memajukan ekonomi, kajian lingkungan dalam alih fungsi lahan tak diperhatikan. Padahal Galuh mengatakan kajian atas lingkungan ini diperlukan agar Jakarta terbebas dari bencana banjir.
Pembangunan tak terkendali ini disebabkan oleh Zaman Otonomi Daerah yang telah berjalan 23 tahun di mana Pemerintah Daerah didorong untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
"Daerah digenjot, dipaksa DPRD, maka ada konsekuensi dia harus mencari ruang-ruang untuk menggenjot PAD-nya. Ruang itu bukan konservasi, karena tidak ada nilai uangnya," kata Galuh.
Galuh mengatakan masalah ini menjadi pragmatis karena dari sisi ekonomi, aspek lingkungan dan konservasi lingkungan ini tidak menghasilkan uang.
Oleh karena itu, Galuh mengatakan pemerintah daerah sering abai dan mengizinkan pembangunan tanpa memerhatikan aspek lingkungan. Ia mengatakan terdapat negosiasi antara pemerintah daerah dengan pihak pengembang atau investor.
"Pembiaran sengaja ya. Ada aspek tadi, proses negosiasi politik antara pemilik daerah, mau itu (misalnya) Kabupaten Bogor, Kota Bogor dengan para pemilik lahan katakanlah investor. Saya pikir itu masalah di kita. bagaimana katakanlah vila-vila beberapa dibongkar, beberapa susah dibongkar," ujar Galuh.
BKSP Jabodetabekjur Tak Efektif Atasi Masalah Lingkungan
Untuk mengatasi masalah pembangunan tak terkendali, sesungguhnya pemerintah memiliki Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur). Badan ini berfungsi untuk mengkoordinasi pembangunan lintas pemerintah daerah dan pusat.
Galuh menilai badan ini tidak efektif karena tidak memiliki wewenang yang luas dan hanya sekadar rutin melakukan rapat. BKSP dibentuk berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) 13 Tahun 1976.
"Saya berpendapat BKSP Jabodetabekjur tidak efektif karena itu karena tidak ada fungsi wewenang lebih luas untuk eksekusi," kata Galuh.
Galuh lebih lanjut mengatakan beberapa kajian memberikan alternatif untuk membentuk badan alternatif di luar BKSP agar memiliki taji dari sisi Sumber Daya Manusia (SDM), wewenang, dan dari sisi pendanaan.
"Salah satu alternatif yang bisa misalnya di bawah presiden, atau level kementerian, atau yang lainnya yang pasti mempunyai wewenang otoritas dan sumber daya lebih baik daripada BKSP sekarang," ujarnya.
Ia mengatakan sesungguhnya saat era pemerintahan Gubernur Sutiyoso (Bang Yos) pernah ada ide untuk membuat badan di luar BKSP untuk melakukan koordinasi pembangunan lintas pemerintahan pusat dan daerah.
Hanya saja ide tersebut harus pupus karena banyak pihak khawatir Sutiyoso memiliki wewenang besar. Padahal Galuh mengatakan alternatif yang ditawarkan Sutiyoso adalah kegelisahan terkait pengelolaan lingkungan di Jabodetabekjur tak cukup dengan BKSP.
"Sebenarnya dulu waktu ada isu dari Bang Yos soal megapolitan itu salah satunya. Untuk memberikan otoritas lebih besar. Meskipun pada saat itu ada proses politik tidak lancar karena Bang Yos dirasa ingin mengambil alih kepala daerah," ujarnya.
Aspek Hidrologi yang Juga Diabaikan
BACA HALAMAN BERIKUTNYAfrom CNN Indonesia https://ift.tt/2sR2lWH
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Menakar Kesalahan Ekologi Versi Jokowi soal Banjir Jakarta"
Post a Comment